Keterampilan membaca sastra ~ nach untuk kali ini,artikel ini beda dengan artikel yang sebelum-sebelumnya yaitu mengenai materi komputer,materi pemrograman,dan artikel-artikel mengenai teknologi lainnya.Saya berfikir,membaca memang hampir semua manusia sudah tau'bahkan anak yang masih berumur 4 thn saja sudah bisa membaca.Tapi yang jadi masalah,bagi yang jurusan sastra perlu tau teknik mengenai keterampilan dalam membaca.Dalam membaca sastra.
Ada empat ketrampilan yang mempunyai tujuan dan tingkat
1) membaca
untuk mencari informasi,
2) membaca untuk menginterpretasi,
3) membaca untuk
memberikan
pandangan kristis dan
4) membaca kreatif dengan tujuan menulis ulang.
Kesulitan
umum yang sering dijumpai para mahasiswa adalah membedakan rambu-rambu dan kosa kata yang dipakai oleh ke-empat jenis pembacaan tadi tanpa menimbulkan kerancuan.
Saya akan menguraikannya secara singkat sebagai berikut:
1. Informative Reading
Membaca karya sastra untuk mencari informasi berangkat dari tradisi kritik
praktis (Practical Criticism) yang dirintis oleh I. A. Richards pada tahun 1920-an yang
selanjutnya menjadi salah satu pendekatan sastra abad ke-20 yang cukup digemari. Menurut
cara baca ini, teks dianggap nir-waktu dan maknanya tidak dipengaruhi oleh latar belakang
penulis, konteks sejarah ataupun kondisi penciptaannya. Tugas pembaca adalah mencermati
bentuk,isi, dan gaya sebuah teks untuk menilai secara obyektif pada apa yang tertulis. Yang saya amati, banyak mahasiswa yang kadang lupa bahwa tugas mereka adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang sebuah karya lewat ‘the words on
the page’ dan membedakan dengan jelas apakah teks yang dibaca berupa puisi, cerita
pendek, novel atau drama karena masing-masing genre harus diperlakukan berbeda. Ketrampilan
ini nampaknya belum dikuasai sehingga mereka biasanya cukup puas jika bisa menjawab pertanyaan “What is the novel about?”, misalnya, dan dengan pola pertanyaan
sama membicarakan berbagai jenis teks. Pertanyaan yang tidak tepat ini dijawab
dengan tidak tepat pula karena Informative Reading pada hakekatnya menanyakan “What does a
text say?”
2. Interpretative Reading
Setingkat lebih tinggi dari yang biasa disebut “close reading”, tahap pembacaan interpretatif tidak lagi menjawab “what happened” tetapi “what if it had
happened to me”. Kata kunci Interpretative Reading adalah “life application” sastra untuk
kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini pembaca mengandaikan dirinya sebagai salah satu
pelaku peristiwa dalam dunia sastra. Pembaca memasuki wilayah imajiner, misalnya
ketika dia, dalam angannya, menaggapi suatu peristiwa atau berdialog dengan tokoh-tokoh
lain. Terciptalah komunikasi antara teks dan pembaca. Pada prakteknya Interpretative
Reading mirip dengan Practical Criticism yang dikembangkan oleh Leavis, yaitu mengajak
pembaca mencari nilai-nilai moral dalam karya sastra. Walau bersifat subyektif, model pembacaan ini bermanfaat karena menempatkan pembaca pada posisi yang cukup terhormat; pembaca menjadi responsif dan mampu mengembangkan pemahaman dan penghargaannya terhadap cerita-cerita yang bagus melalui genre yang berbeda-beda. Interpretative Reading melatih pembaca
merasakan beragam cita rasa ketika membaca novel dibanding dengan ketika membaca koran,
atau puisi dengan iklan, misalnya. Apresiasi antar budaya lahir dari latihan membaca
dengan cara ini.
Namun, kesalahan umum yang sering dilakukan beberapa mahasiswa saya adalah menjadi terlalu subyektif dan emosional sehingga tidak bisa menangkap pesan
bahwa sastra adalah bagian dari budaya secara umum.
3. Critical Reading
Jika pada dua model sebelumnya tujuan membaca adalah untuk mengetahui apa yang dikatakan suatu teks kepada pembaca dan apa yang dilakukan teks kepada
pembaca, maka ketrampilan membaca ke-3 ini bertujuan mencari makna teks – “what a text
means”. Pembaca ingin mengetahui maksud pengarang; untuk siapa karyanya ditujukan;
apakah ia mengesankan bias dalam penyampaiannya; ideologi apa yang menjadi jiwa
tulisannya, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang pada hakekatnya memberi penilaian obyektif
terhadap
sebuah karya sastra.
Salah satu saran praktis dalam membaca kritis yaitu menempatkan diri menjadi target audience dengan mengenal latar belakang, karya dan kiprah pengarang di
dunianya. Banyak tokoh dalam karya sastra merupakan skewed and disguised image dari pengarangnya. Sungguh menarik ketika kita tahu bahwa J. D. Salinger yang
pemurung dan suka menyendiri itu juga berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah lain
seperti Holden Caulfield. Siapapun akan melihat bayangan Tennessee Williams dan ibundanya pada
Tom
dan Amanda Wingfield dalam The Glass Menagerie. Pada Critical Reading, koherensi dan logika teks sangat penting. Kedua hal ini kadang tidak tertangkap oleh mahasiswa-mahasiswa S-1. Banyak mahasiswa saya
yang tidak membaca dengan mata hati terbuka tetapi menuruti kemampuan dan kemauan mereka tanpa memberikan kesempatan kepada pengarang menyampaikan ide-idenya.
Saya bukan penggemar Ayu Utami, tetapi saya sering merasa tidak nyaman jika pembaca
Saman seakan-akan mengadili kehidupan pribadi (baca: seks) pengarangnya. Seorang
pembaca novel yang kritis hanya bertugas menimba ilmu, bukan mencoba menulis novel lain
seturut dengan kepribadian dan nilai-nilai yang diyakininya yang belum tentu sama
dengan yang dimiliki oleh pengarang. Sekarang saya sampai pada kegagalan ke-2 dalam menerapkan model pembacaan kritis. Ketika mahasiswa-mahasiswa skripsi saya meminjam teori Feminisme,
Marxisme,
Psikoanalisa, Poskolonialsme dan sebagainya untuk membedah karya sastra, mereka mencoba menunjukkan kelancaran mereka berbicara tentang berbagai disiplin ilmu
dari sejarah, sosiologi sampai filsafat tanpa koherensi yang jelas. Critical Reading
memang mengarah pada penerapan berbagai teori kajian sastra dan budaya. Tetapi yang
saya amati pada sejumlah karya tulis mahasiswa saya, pelaksanaan proyek tersebut tidak
selalu berjalan mulus karena biasanya mereka belum bisa menangkap central claim atau reasoning dari pengarang teks yang dikaji. Teori-teori mutakhir ini lalu
dipajang sebagai pernak-pernik atau window dressing saja.
4. Creative Reading
Inilah tahap pemahaman membaca yang paling tinggi, yaitu mengakhiri sebuah perjalanan mencari jati diri (lewat membaca) dengan melahirkan kembali sebuah
teks setelah pembaca mengalami transformasi. Bukankah kita sering mendengar bahwa
karya sastra mempunyai kekuatan untuk informasi, reformasi dan transformasi? Bahkan pandangan yang ultra pragmatis menganggap karya sastra juga mempunyai kapasitas deformasi. Tujuan akhir yang sekaligus menjadi kata kunci Creative Reading
adalah terapi penulisan (kembali) ilmu-ilmu humaniora. Membaca kreatif di sini bukan sekedar mencari pleasure dari kegiatan itu,
tetapi sekaligus self-fulfillment yang pada gilirannya mampu memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi dunia ilmu dan komunitas kecil maupun besar. Pada tahap ini
pembacaan harus sampai pada kemampuan menghadirkan kembali karya yang dibaca lewat teks
yang ditulis ulang semisal dengan memberikan alternative endings. Pembaca membuat pengakhiran alternatif untuk mengksplorasi rasa senang, haru, marah, dan
berbagai emosi lain dalam tulisannya. Sebagai contoh, apa yang terjadi kalau Willy Loman tidak
mati bunuh diri? Apakah Death of a Salesman yang ditulis lebih dari setengah abad
yang lalu sebagai gugatan atas American Dream masih sesuai dengan paradigma kesuksesan
masa kini yang juga diukur dengan penimbunan materi? Bagaimana analisa pribadi dan
kritik terhadap diri sendiri ditanggapi? Pembaca kreatif ini lalu diharapkan menulis
sebuah diskursi tandingan dengan atau tanpa menjadi seorang Arthur Miller lain. Dia
bisa menulis wacana psikologi yang sastrawi, misalnya. Sunardi mencermati bahwa dunia sastra sekarang dikuasai oleh ‘orang-orang luar’ dengan mencontohkan hasil-hasil
penelitian ilmu sosial yang dikemas menjadi karya sastra seperti Cultural Intimacy: Social
Poetics in the Nation State (1997) oleh Michael Herzfeld atau An Intimate History of Humanity
(1994) oleh Theodore Zeldin. Sebagai catatan, Creative Reading sebagai aktivitas personal yang berdampak komunal bisa dilihat akhir-akhir ini dengan munculnya kelompok-kelompok pembaca sastra. Di Inggris, menurut Debbie Hick dari the Reading Agency, pendanaan
publik yang dulunya diberikan pada perpustakaan-perpustakan sekarang disisihkan juga untuk
pembaca,penulis dan aktivitas membaca dan menulis, sehingga ‘book talk’ bermunculan Membutuhkan Membaca dan Membaca Membutuhkan Menulis Membaca Bebas dan Sengaja (MBS) Setelah mengawali buku yang mengungkapkan hasil-hasil risetnya tentang membaca
dan menulis seperti itu, kemudian Dr. Krashen berbicara soal cara mengatasi
problem atau tuntutan tersebut. Berikut uraian Dr. Krashen selanjutnya:
"Menurut hemat saya, penyembuhan dari krisis kemampuan baca-tulis ini
terletak pada melakukan satu kegiatan, kegiatan yang jarang dilakukan dalam
kehidupan banyak orang, yaitu membaca. Khususnya, saya menyarankan membaca buku
dalam jenis tertentu -- Membaca secara Bebas dan Sengaja (disingkat MBS atau
free voluntary reading [FVR]). MBS berarti Anda menjalankan kegiatan membaca
karena Anda memang menginginkannya."
"Untuk anak usia sekolah, MBS berarti tidak ada pembuatan laporan tentang
buku yang dibaca, tidak ada pertanyaan di akhir bab, dan tidak perlu mencari
arti yang benar untuk setiap kosakata yang ditemukan. MBS berarti menyingkirkan
buku yang tidak Anda sukai dan memilih yang lain yang bermanfaat dan disukai
sebagai gantinya. Ini jenis membaca yang dilakukan secara obsesif oleh mereka
yang sangat terpelajar di Amerika."
"Saya tidak akan mengatakan MBS sebagai jalan keluar sepenuhnya.
Pembaca-bebas tidak dijamin bisa masuk Harvard. Yang disampaikan riset ini
adalah bahwa jika anak-anak atau orang dewasa yang tidak begitu cakap mulai
membaca untuk kesenangan, maka hal-hal baik akan terjadi. Pemahamannya terhadap
bacaan akan membaik, dan mereka akan lebih mudah mengerti teks akademis yang
sulit. Gaya tulisan mereka akan membaik, dan mereka akan mampu lebih baik
menulis prosa dengan gaya yang diterima di sekolah, bisnis, dan masyarakat
ilmiah. Kosakata mereka akan bertambah dalam kecepatan yang lebih baik
dibanding jika mereka menjalani kursus peningkatan kosakata yang sering
dijajakan oleh para pengiklan. Lagi pula, ejaan dan tata bahasa mereka pun akan
membaik."
"Dengan kata lain, pembaca-bebas memiliki peluang. Dan riset juga
menunjukkan bahwa mereka yang tidak memupuk kebiasaan membaca yang
menyenangkan, ada kemungkinan tidak memiliki peluang untuk hidup lebih baik --
mereka akan menghadapi masa-masa sulit dalam hal baca- tulis pada tingkatan
yang cukup tinggi dalam menghadapi tuntutan dunia kini." "Buku The
Power of Reading, mempelajari riset terhadap MBS, cara penerapan MBS, dan
hal-hal yang berkaitan dengan membaca, menulis, dan kemelekan huruf. Peluang
yang ditawarkan oleh MBS terhadap pribadi dan masyarakat sungguh luar biasa.
Tujuan buku ini adalah memperlihatkan kepada pembaca apa yang ditawarkan
MBS."
Setelah menguraikan gagasan pokoknya secara selintas, Dr. Krashen kemudian
menunjukkan bukti-bukti bermanfaatnya membaca dalam kaitannya dengan menulis
dan hal-hal yang mengelilinginya. Di bawah ini adalah potongan-potongan gagasan
Dr. Krashen yang disesuaikan dengan materi buku yang sedang Anda hadapi ini.
Silakan menyimak secara relaks dan ambillah "makna-makna" penting
yang tiba-tiba mencuat dari hasil riset Dr. Krashen.
Perlu ditambahkan di sini bahwa dalam menunjukkan hasil-hasil risetnya ini, Dr.
Krashen juga mengutip pelbagai hasil penelitian lain yang mendukung penelitiannya.
Nanti Anda akan menjumpai beberapa nama di dalam kurung yang diikuti oleh angka
berupa tahun. Itu menunjukkan orang yang meneliti bidang tersebut dan kapan
hasil penelitian tersebut dipublikasikan. Di sini tidak disajikan secara
lengkap identitas itu demi mencapai keringkasan dan kepraktisan penyajian.
Mengapa pembaca yang baik tetap memiliki celah kekurangan? Apa yang menjadi
kendala dalam kemahiran berbahasa tulis? Salah satu penjelasan adalah bahwa
tidak semua yang tercetak harus diperhatikan; maksudnya, membaca dapat dianggap
berhasil apabila pembaca dapat memahami yang dibaca. Dan untuk mencapai hal
ini, pembaca tidak harus menggunakan sepenuhnya semua yang tertera di atas
kertas.
Menurut sebuah penelitian (Goodman, 1982; Smith, 1988), pembaca fasih
menciptakan hipotesis terhadap teks yang akan mereka baca didasarkan pada apa
yang sudah mereka baca, pengetahuan mereka dalam bidang itu, dan pengetahuan
mereka akan bahasa -- dan hanya menggunakan aspek tercetak yang mereka perlukan
untuk menegaskan hipotesis mereka itu. Sebagai contoh, kebanyakan pembaca bisa
menduga apa kata terakhir yang akan dipakai oleh sebuah kalimat. Pembaca yang
baik tidak perlu memperhatikan dengan sepenuhnya dan dengan hati-hati kata
"ini" di akhir kalimat untuk memahaminya; mereka hanya perlu melihat
sekilas untuk memastikan bahwa kata itu tertera di sana.
Dengan demikian, pembaca yang cakap tidak memperhatikan detail kalimat di
setiap halaman, dan mereka mungkin gagal melihat perbedaannya atau apakah
kata-kata tertentu berakhiran "-lah" atau "-kah". Celah
kecil ini, dalam pandangan saya, tidak terlalu perlu diperhatikan untuk
menjalankan kegiatan membaca yang lancar dan efisien.
Tentang Menulis
Bahasan tentang tulis-menulis patut mendapat tempat lebih luas dibanding yang saya
berikan di sini. Akan tetapi, tujuan saya bukan untuk memberikan survei
menyeluruh tentang apa yang diketahui tentang penulisan dan bagaimana kemampuan
menulis berkembang. Tujuan saya lebih untuk menyampaikan dua poin penting di
bawah ini:
1. Gaya tulisan tidak didapat dari menulis, melainkan dari membaca.
2. Menulis bisa membantu kita menyelesaikan masalah dan menjadikan kita semakin
cerdas.
Gaya Tulisan Berasal dari Membaca
Riset dengan jelas menunjukkan bahwa kita belajar menulis lewat membaca. Untuk
lebih tepatnya, kita memperoleh gaya tulisan, bahasa khusus penulisan, dengan
membaca. Kita sudah melihat banyak bukti yang menegaskan hal ini: Anak-anak
yang berpartisipasi dalam program membaca-bebas, menulis dengan lebih baik
(misalnya, Elley dan Mangubhai, 1983; McNeil dalam Fader, 1976) dan mereka yang
melaporkan bahwa semakin banyak mereka membaca semakin baik tulisannya
(misalnya, Kimberling et al., 1988 sebagaimana dilaporkan dalam Krashen 1978,
1984; Applebee, 1978; Alexander, 1986; Salyer, 1987; Janopoulus, 1986; Kaplan
dan Palhinda, 1981; Applebee et al., 1990).
Ada alasan lain untuk memperkirakan bahwa gaya penulisan berasal dari membaca.
"Argumen kompleksitas" berlaku pula untuk penulisan: Semua cara di
mana bahasa tertulis "resmi" berbeda dengan bahasa yang lebih
informal terlalu rumit untuk dipelajari satu per satu. Bahkan walau pembaca
mengenali tulisan yang baik, para peneliti tidak berhasil menjabarkan secara
lengkap tentang apa persisnya yang membuat tulisan yang "bagus" itu bagus.
Oleh karena itu, masuk akal untuk mengatakan gaya penulisan tidak dipelajari
secara sadar, melainkan umumnya diserap, atau secara tidak sadar diperoleh,
lewat membaca.
Hunting (1967) memaparkan riset untuk disertasi (tidak dipublikasikan) yang
menunjukkan bahwa kuantitas tulisan tidak berkaitan dengan kualitas tulisan.
Banyak sekali kajian yang menunjukkan bahwa meningkatnya kuantitas tulisan
tidak mempengaruhi kualitas tulisan. Nah, tentang gaya tulisan berasal dari
membaca bukan dari menulis, sejalan dengan yang diketahui tentang kemahiran
berbahasa: Kemahiran berbahasa diperoleh melalui masukan (input), bukan
keluaran (output), dari pemahaman, bukan hasil. Dengan demikian, jika Anda
menulis satu halaman sehari, gaya tulisan Anda tidak akan meningkat. Akan tetapi,
hal baik lain bisa dihasilkan dari tulisan Anda, sebagaimana yang akan kita
lihat dalam pembahasan berikut.
Apa yang Dilakukan Tulisan
Kendati menulis tidak membantu kita mengembangkan gaya penulisan, menulis
mempunyai keuntungan lain. Seperti yang dikemukakan Smith (1988), kita menulis
setidaknya karena dua alasan. Pertama, dan paling nyata, kita menulis untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Namun mungkin yang lebih penting, kita menulis
untuk diri kita sendiri, untuk memperjelas dan merangsang pikiran kita.
Sebagian besar tulisan kita, bahkan kalaupun kita adalah penulis yang karyanya
diterbitkan, adalah untuk diri kita sendiri.
Seperti yang diungkapkan Elbow (1973), sulit untuk mengendalikan lebih dari
satu gagasan dalam pikiran sekaligus. Tatkala kita menuliskan gagasan kita,
hal-hal samar dan abstrak menjadi jelas dan konkret. Saat semua pikiran tumpah
di atas kertas, kita bisa melihat hubungan di antara mereka, dan bisa
menciptakan pemikiran yang lebih baik. Menulis, dengan kata lain, bisa membuat
kita lebih cerdas.
Menulis bisa membantu kita berpikir secara menyeluruh dan menyelesaikan
masalah. Pembaca yang selalu menuliskan catatan harian atau jurnal tahu banyak
tentang hal ini -- Anda menghadapi masalah, Anda menuliskannya, dan setidaknya
10 persen dari masalah itu raib. Terkadang, keseluruhan permasalahan itu
hilang.
Mungkin, bukti eksperimental terjelas yang memperlihatkan bahwa menulis
membantu pemikiran adalah serangkaian kajian yang dilakukan Langer dan Applebee
(1987). Siswa-siswa sekolah menengah diminta membaca telaah sosial kemudian
mempelajari informasi di dalamnya dengan menuliskan esai analitis tentang
pertanyaan yang ditugaskan berkaitan dengan topik tersebut, atau dengan
menggunakan teknik belajar lainnya (misalnya membuat catatan, menjawab
pertanyaan tentang pemahaman, menuliskan ringkasan, teknik belajar
"normal" tanpa menulis).
Lalu para siswa itu diberi pelbagai ujian mengenai materi bacaan. Langer dan
Applebee melaporkan bahwa "secara umum, tanggapan tertulis apa pun
mengarah pada kinerja yang lebih baik dibanding membaca tanpa menulis".
Dalam kajian ketiga, mereka menunjukkan bahwa menulis esai tidak membuat
informasi bertahan lama (di otak) jika materi bacaan yang diberikan mudah;
namun apabila materi yang mereka baca sulit, penulis esai memberikan hasil yang
jauh lebih baik dibanding siswa yang menggunakan teknik belajar lainnya. Hasil
serupa tentang keefektifan penulisan esai dilaporkan oleh Newell (1984),
Marshall (1987), serta Newell dan Winograd (1989).
Terkadang, sedikit saja menulis sudah bisa membuat perbedaan besar. Dalam
kajian yang dilakukan Ganguli (1989), ditunjukkan bahwa mahasiswa matematika
yang meluangkan tiga menit per periode untuk menjabarkan dalam bentuk tulisan
konsep penting yang dikemukakan di kelas, lebih unggul dalam ujian akhir
semester dibanding kelompok pembanding. Untuk ulasan mengenai riset tambahan
yang mendukung hipotesis bahwa menulis "bisa membuat Anda lebih
cerdas", lihat Applebee (1984) dan Krashen (1990).
Akhirnya, kesimpulan saya sederhana saja. Apabila anak-anak membaca untuk
kesenangan, apabila mereka "terikat dengan buku", mereka memperoleh,
secara tidak sengaja dan tanpa usaha yang dilakukan dengan sadar, hampir semua
hal yang disebut "ketrampilan kebahasaan" yang sangat diperhatikan
oleh banyak orang: Mereka akan menjadi pembaca handal, mendapatkan banyak
kosakata, mengembangkan kemampuan untuk memahami dan menggunakan susunan
kalimat majemuk, mengembangkan gaya penulisan yang bagus, dan menjadi pengeja
yang hebat (walau bukan sempurna). Meskipun membaca dengan bebas dan dengan
sengaja itu sendiri tidak akan memastikan didapatkannya kecakapan pada
tingkatan tertinggi, setidaknya ia menjamin tingkatan yang dapat diterima.
Tanpa hal itu, saya duga anak-anak tidak berpeluang.
Ketika kita membaca, kita betul-betul tidak punya pilihan kita harus melek
huruf. Kita jarang menemukan orang yang membaca dengan baik menghadapi
persoalan serius berkenaan dengan tata bahasa, ejaan, dan lain-lain. Mereka
menulis cukup bagus karena mereka tidak bisa menahannya; mereka memiliki gaya
tulisan yang tanpa sadar diperoleh, begitu pula aturan kepenulisan.
Orang yang membaca dengan baik, menulis dengan baik pula karena mereka secara
tidak sadar mendapatkan gaya penulisan yang baik. Akan tetapi, saya bukan
mengajukan program kebahasaan yang terdiri dari hanya membaca bebas. Saya juga
sepakat dengan nilai membaca yang ditugaskan oleh guru dan direkomendasikan
oleh guru, petugas perpustakaan, dan orangtua. Membaca yang ditugaskan serta
membaca bebas dan disengaja akan saling membantu: lewat literatur, siswa akan
tumbuh secara intelektual dan akan terpapar dengan aneka ragam buku, yang bisa
merangsang untuk lebih banyak membaca bebas.
Pada artikel selanjutnya akan dilanjutkan dengan membahas berbagai artikel yang mengenai sastra,jadi silahkan update.
Salam....
Title : Keterampilan dalam membaca sastra
Description : Keterampilan membaca sastra ~ nach untuk kali ini,artikel ini beda dengan artikel yang sebelum-sebelumnya yaitu mengenai materi komputer,...
Description : Keterampilan membaca sastra ~ nach untuk kali ini,artikel ini beda dengan artikel yang sebelum-sebelumnya yaitu mengenai materi komputer,...
0 Response to "Keterampilan dalam membaca sastra"
Post a Comment